ASURANSI SYARIAH: KEUNIKAN DAN BERKAH DI ERA MODERN

ASURANSI SYARIAH: KEUNIKAN DAN BERKAH DI ERA MODERN

Pembahasan mengenai perkembangan asuransi syariah di Indonesia dan Malaysia membuka jendela luas ke dalam dunia keuangan yang semakin dinamis. Seiring dengan pertumbuhan pesat industri ini, perbandingan antara kedua negara menjadi sorotan utama.

Dengan jumlah perusahaan asuransi jiwa syariah yang mengungguli Malaysia, namun tantangan dalam hal total aset, serta kebijakan insentif pajak yang menjadi perdebatan, tulisan ini akan membahas secara mendalam dinamika perkembangan asuransi syariah di kedua negara tersebut. Mari kita selami perincian menarik yang mencerminkan arah dan tantangan industri asuransi syariah di Indonesia dan Malaysia.

Meskipun pangsa pasar asuransi syariah baru mencapai 4 persen dari total industri asuransi, pertumbuhannya cukup pesat. Dalam periode 2006-2011, premi bruto tumbuh hingga 10 kali lipat. Tahun ini, targetnya adalah meningkat menjadi 5 persen.

Prospek bisnis asuransi syariah di Indonesia sangat cerah. Saat ini, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan jumlah operator asuransi syariah yang cukup banyak di dunia.

Perkembangan industri asuransi syariah di negeri ini dimulai dengan kelahiran asuransi syariah pertama di Indonesia pada tahun 1994. Saat PT Syarikat Takaful Indonesia, yang dimotori oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, mendirikan dua anak perusahaan, yaitu PT Asuransi Takaful Keluarga (asuransi jiwa syariah) dan PT Asuransi Takaful Umum (asuransi kerugian syariah).

Hal tersebut kemudian mendorong berbagai perusahaan untuk masuk ke bisnis asuransi syariah, baik sebagai entitas terpisah dari induk perusahaan (spin-off) maupun unit asuransi syariah. Bahkan, sejumlah asuransi besar kelas dunia ikut ambil bagian dalam bisnis asuransi syariah di Indonesia. Mereka menilai Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia memiliki potensi pengembangan bisnis yang besar dan tidak dapat diabaikan. Beberapa di antaranya adalah PT Asuransi Allianz Life dan PT Prudential Life Assurance.

Laporan Kegiatan Perasuransian Indonesia oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) menyebutkan bahwa hingga akhir 2009, sudah ada 42 perusahaan asuransi dan reasuransi yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah, meningkat dari 26 perusahaan pada tahun 2005. Indikatornya adalah peningkatan premi bruto dalam beberapa tahun terakhir.

Kontribusi premi bruto mencapai 4,97 triliun rupiah pada tahun 2011, tumbuh 10 kali lipat dibandingkan dengan tahun 2006 yang sebesar 499 miliar. Dari sisi aset, pangsa pasar industri asuransi syariah mencapai 3,21 persen dari total aset industri asuransi.

Tahun 2011, pertumbuhan premi bruto asuransi syariah mencapai 35 persen dibanding tahun 2010. Pemain baru dalam industri asuransi syariah terus bermunculan. Dengan memiliki penduduk muslim terbesar di dunia, seharusnya minat terhadap asuransi syariah di Indonesia menjadi tinggi. Oleh karena itu, Indonesia memiliki potensi untuk memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan asuransi syariah di kawasan regional maupun dunia.

Selama ini, asuransi syariah menggunakan bank syariah sebagai salah satu saluran distribusi pemasaran produknya. Terkait dengan aturan uang muka kredit pemilikan rumah dan kredit kendaraan bermotor, aturan ini belum berlaku untuk bank syariah.

Maraknya bisnis syariah, baik dalam sektor perbankan maupun lembaga keuangan non-bank, membuat kebutuhan tenaga ahli untuk duduk di posisi Dewan Pengawas Syariah (DPS) semakin meningkat. Menurut aturan yang berlaku, setiap perusahaan syariah, baik yang berdiri sendiri maupun berbentuk unit, wajib memiliki tenaga ahli Dewan Pengawas Syariah (DPS).

Adiwarman Karim, Wakil Ketua Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), menyatakan bahwa DSN masih mampu memenuhi kebutuhan DPS dari industri keuangan syariah. Saat ini, jumlah Dewan Pengawas Syariah yang dimiliki DSN-MUI mencapai 230 orang. Sebagian dari mereka sudah aktif bekerja di perusahaan perbankan dan lembaga keuangan non-bank lainnya. Anggota DPS, selain harus melewati fit and proper test, juga harus lulus ujian sertifikasi yang melibatkan tiga tahap sertifikasi. Namun, perlu dicatat bahwa belum semua anggota DPS telah bersertifikasi.

Penduduk muslim Indonesia merupakan potensi pasar besar untuk pasar keuangan syariah. Meskipun demikian, pertumbuhan pasar ini masih kalah dengan Malaysia, yang memiliki jumlah penduduk kurang dari sepersepuluh dari Indonesia.

Perbedaan pertumbuhan pasar keuangan syariah ini terlihat dari data penerbitan sukuk secara global, dimana pasar keuangan syariah Indonesia hanya mencapai tujuh miliar dolar AS, sementara Malaysia sudah mencapai 96 miliar dolar AS. Alasan dari pertumbuhan pasar keuangan syariah Malaysia yang lebih pesat dibanding Indonesia adalah pemberian insentif pajak oleh pemerintah Malaysia, yang tidak terjadi di Indonesia.

Pencapaian Indonesia yang mengungguli Malaysia terdapat pada jumlah perusahaan asuransi jiwa syariah atau keluarga takaful yang mencapai 21 perusahaan, sedangkan Malaysia hanya memiliki delapan perusahaan. Namun demikian, total aset Indonesia untuk asuransi tersebut masih kalah dibandingkan dengan Malaysia sebesar 0,4 miliar dolar AS.

Sementara itu, Malaysia mampu mengungguli Indonesia dengan total aset sebesar 3,4 miliar dolar AS. Kondisi serupa juga terjadi pada asuransi umum syariah dan reasuransi. Indonesia unggul dalam jumlah perusahaan, namun kalah dalam hal aset. Indonesia memiliki 25 perusahaan dengan total aset sebesar 0,1 miliar dolar AS (Fauzi Ichsan, 2011). Malaysia, meskipun kalah dalam jumlah perusahaan (13 perusahaan), unggul dalam total aset sebesar 0,6 miliar dolar AS. Menghadapi kondisi ini, pemerintah Indonesia perlu memberikan insentif pajak seperti yang dilakukan Malaysia.

Malaysia dikenal sebagai pasar terbesar asuransi syariah di dunia dengan total premi 1 miliar dolar AS pada tahun 2010.

Beberapa prinsip yang mendasari asuransi syariah adalah memisahkan dana pemegang saham dengan dana pemegang polis, tidak dibenarkan membayar bunga, dan investasi pada kegiatan tertentu yang terlarang, serta pengawasan oleh Dewan Pengawas Syariah. Terdapat empat model asuransi syariah atau takaful, yaitu manajemen menerima fee (wakalah), pembagian keuntungan (mudarabah), kombinasi dari model wakalah dan mudarabah (hybrid model), dan model di mana investor menginvestasikan dana terlebih dahulu, kemudian pemegang polis memberikan kontribusi dalam bentuk premi untuk mendanai klaim, dan operator menerima manajemen fee (wakalah wakaf model). Namun, asuransi syariah yang berkembang pesat belum mendapatkan pengaturan sama sekali dalam undang-undang perasuransian.

Pada dasarnya, asuransi syariah bekerja berdasarkan prinsip yang sama dengan BPJS dan asuransi jiwa bersama (mutual) dalam hal bersifat wali amanah (non-profit) dan bersifat sosial sharing the pain sharing the gain.

Terkait dengan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 152/PMK.010/2012 tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian yang terbit tanggal 3 Oktober 2012, pasal 24 mengatur larangan bagi anggota Dewan Komisaris perusahaan perasuransian merangkap jabatan sebagai anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau anggota dewan pengawas syariah pada lebih dari satu perusahaan lain.

Hal ini menimbulkan persoalan karena saat ini terdapat sejumlah nama yang menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah pada beberapa usaha asuransi syariah sekaligus merangkap menjadi anggota DPS perbankan. Pembatasan ini menimbulkan sebagian anggota DPS memilih untuk meninggalkan atau mengundurkan diri dari keanggotaan DPS perasuransian dan lebih memilih menjadi anggota DPS perbankan. Akan timbul kekosongan pada DPS perasuransian, meskipun peraturan tersebut memberi kelonggaran waktu hingga 6 bulan mendatang.

Dalam rangka itu, DSN – MUI perlu menaruh perhatian pada kekosongan ini dengan mempercepat penyediaan tenaga DPS bersertifikasi untuk mengisi kebutuhan perasuransian syariah, termasuk perbankan dan lembaga keuangan non-bank lainnya. Dengan demikian, jumlah unit syariah yang begitu banyak di Indonesia diimbangi dengan tersedianya jumlah anggota DPS yang memadai sehingga berkah bertumbuh pesatnya asuransi syariah di Indonesia tidak sia-sia.

Secara keseluruhan, perbandingan perkembangan asuransi syariah di Indonesia dan Malaysia menggambarkan lanskap industri keuangan yang menarik dan dinamis. Meskipun Indonesia memiliki keunggulan dalam jumlah perusahaan asuransi jiwa syariah, tantangan muncul ketika melihat total aset yang masih kalah dengan Malaysia. Kedua negara menghadapi dilema dalam mencapai keseimbangan antara pertumbuhan jumlah perusahaan dan optimalisasi total aset. Keberhasilan Malaysia dalam mencapai total premi sebesar 1 miliar dolar AS pada tahun 2010, disertai insentif pajak yang mendorong pertumbuhan pasar keuangan syariah, menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia.

Di sisi lain, masalah terkait regulasi dan pengaturan asuransi syariah di Indonesia menjadi catatan kritis. Keberadaan Dewan Pengawas Syariah yang perlu diperhatikan lebih serius dalam mengatasi kekosongan anggota dan meningkatkan sertifikasi menjadi elemen krusial bagi pertumbuhan berkelanjutan. Untuk memastikan bahwa pertumbuhan asuransi syariah di Indonesia tidak sia-sia, kerja sama antara regulator, perusahaan, dan lembaga keuangan syariah perlu ditingkatkan.

Kesimpulannya, meskipun Indonesia dan Malaysia memiliki dinamika sendiri dalam mengembangkan asuransi syariah, kerjasama dan pembelajaran antar-negara dapat menjadi kunci untuk mengoptimalkan potensi dan memitigasi tantangan di masa depan.

Artikel ini merupakan bagian dari buku “BANGKITNYA ASURANSI KAMI” dengan keynote speaker Profesor Muhammad Eddi Purnawan, Anggota Badan Supervisi OJK. Februari 2024. ISBN, Penerbit IPB Press.

Harga buku ini adalah Rp. 155.000 dan dapat dipesan melalui ligasuransi.com