KLAIM EX GRATIA SEBAGAI ALAT UTAMA DALAM MEMBANGUN REPUTASI ASURANSI

KLAIM EX GRATIA SEBAGAI ALAT UTAMA DALAM MEMBANGUN REPUTASI ASURANSI

Kami dengan penuh antusias mempersembahkan tulisan ini sebagai refleksi mendalam tentang dinamika industri asuransi, khususnya dalam penyelesaian klaim melalui kebijakan ex gratia. Fenomena penolakan klaim yang kerap mencuat di berbagai media menjadi titik sentral pembahasan, menjelajahi kompleksitas dan tantangan yang dihadapi oleh perusahaan asuransi dan nasabahnya. Dalam era di mana kepercayaan masyarakat terhadap industri ini semakin terkikis, klaim ex gratia muncul sebagai solusi untuk menjaga hubungan baik dan memperlihatkan itikad baik perusahaan.

Tulisan ini tidak hanya menyajikan gambaran mengenai praktik ex gratia, tetapi juga mengulas aspek hukum dan normatif yang terlibat. Dengan penuh kesadaran akan keberagaman pandangan, kami mengajak pembaca untuk menjelajahi kompleksitas dan relevansi dari kebijakan ini dalam menghadapi perubahan zaman. Semoga tulisan ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai klaim ex gratia dan kontribusinya dalam menjaga marwah industri asuransi. Selamat membaca!

Penolakan klaim oleh perusahaan kepada nasabah seringkali mencuat di media sosial dan media utama, bahkan menjadi viral dan berujung pada gugatan di pengadilan. Fenomena ini, terutama dalam era post-truth dan kecerdasan buatan, perlahan-lahan merusak kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi.

Dalam dunia asuransi, terdapat apa yang dikenal sebagai pembayaran klaim secara ex gratia, yaitu pembayaran klaim oleh perusahaan asuransi dalam situasi di mana syarat dan kondisi polis sebenarnya tidak menjamin klaim yang diajukan. Pembayaran klaim ini dilakukan untuk menunjukkan niat baik dan menjaga hubungan baik dengan nasabah, meskipun kondisi polis tidak mewajibkan perusahaan asuransi membayar klaim. Pembayaran klaim sepenuhnya dilakukan atas pertimbangan kesukarelaan untuk keuntungan nasabah, tanpa mengakui tanggung jawab pembayaran klaim. Pembayaran klaim ex gratia dilakukan atas dasar pertimbangan komersial, mengingat hubungan dengan nasabah, di luar pertimbangan hukum yang terdapat dalam kondisi polis.

Dewasa ini, nasabah memiliki pemahaman yang lebih baik dan biasanya mengharapkan kebijakan ex gratia, yaitu pembayaran sukarela tanpa mengikuti kontrak polis. Masalah yang sering muncul dalam penyelesaian klaim ex gratia adalah ketidaklengkapan dokumen dari rumah sakit, seperti rekam medis, yang seringkali sulit diperoleh dengan cepat.

Risiko utama dalam penyelesaian klaim asuransi adalah terkait dengan riwayat kesehatan tertanggung. Jika terdapat perbedaan antara riwayat kesehatan tertanggung dan yang tercantum dalam polis, uang pertanggungan mungkin tidak dapat diterima oleh ahli waris. Meskipun demikian, perusahaan asuransi biasanya memberikan opsi penyelesaian klaim ex gratia untuk tetap memberikan santunan kepada nasabah atau ahli waris.

Hingga saat ini, belum ada aturan khusus mengenai penyelesaian klaim ex gratia, karena hal ini merupakan kebijakan internal perusahaan. Penyelesaian klaim ex gratia harus diajukan langsung oleh ahli waris dengan membuat surat permohonan klaim ex gratia, dengan syarat bahwa ketentuan pengajuan klaim asuransi jiwa dalam polis tidak dapat dipenuhi dan ada keadaan yang tidak dijamin dalam polis.

 

Pertimbangan perusahaan asuransi dalam penyelesaian klaim ex gratia melibatkan itikad baik dari nasabah/tertanggung yang telah memenuhi kewajiban membayar premi sesuai kesepakatan dalam polis. Selain itu, itikad baik dari ahli waris juga menjadi pertimbangan penting. Perusahaan asuransi diharapkan memberikan pelayanan kepada nasabah dengan tetap mempertimbangkan tata kelola yang baik dan menghindari jalur hukum, jika memungkinkan, untuk menjaga reputasi perusahaan.

Dilihat dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, penyelesaian klaim ex gratia tidak menyimpang dari ketentuan yang tercantum dalam kedua undang-undang tersebut. Meskipun tidak secara eksplisit diatur, Pasal 31 ayat 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 memberikan legitimasi hukum terhadap pelaksanaan ex gratia sebagai upaya penanggung untuk menyelesaikan klaim secara cepat, mudah, dan adil.

Dalam argumentasi lain, Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat dijadikan landasan penyelesaian klaim perjanjian asuransi secara ex gratia. Pasal ini memungkinkan penyelesaian sengketa melalui itikad baik, mengesampingkan penyelesaian litigasi di pengadilan. Hal ini memberikan legitimasi bagi penyelesaian klaim ex gratia tanpa melanggar norma hukum yang berlaku.

Meskipun tidak diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian, penyelesaian klaim ex gratia dapat dianggap sebagai bentuk hukum kebiasaan dalam bisnis perasuransian untuk menyelesaikan klaim asuransi yang diajukan oleh tertanggung.

Ketidakpastian mengenai apakah setiap tertanggung yang klaim asuransinya ditolak dapat mendapatkan pembayaran klaim secara ex gratia memposisikan perusahaan asuransi sebagai pihak yang kuat. Dalam teori kepastian hukum, baik Pasal 6 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa maupun Pasal 31 Ayat 3 Undang-undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian tidak dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan klaim perjanjian asuransi.

Meskipun demikian, penggunaan mekanisme klaim ex gratia diharapkan dapat menjaga marwah asuransi sebagai sarana perlindungan masyarakat.

Dalam menyimpulkan pembahasan mengenai “Menjaga Martabat Asuransi Melalui Klaim Ex Gratia,” dapat diungkapkan bahwa kebijakan ex gratia dalam penyelesaian klaim asuransi memegang peran penting dalam menjaga hubungan baik antara perusahaan asuransi dan nasabahnya. Meskipun tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang, klaim ex gratia menjadi manifestasi dari itikad baik perusahaan untuk menangani klaim dengan cepat, mudah, dan adil. Khususnya dalam menghadapi ketidaklengkapan dokumen atau perbedaan riwayat kesehatan tertanggung, klaim ex gratia memberikan solusi tanpa harus melibatkan jalur litigasi yang panjang.

Ketidakpastian hukum seputar eksistensi klaim ex gratia memposisikan perusahaan sebagai pihak yang memiliki kendali tinggi dalam memberikan pembayaran klaim tersebut. Namun, seiring dengan meningkatnya kesadaran nasabah dan tuntutan transparansi, perusahaan dituntut untuk tetap menjaga itikad baik, menjalankan tata kelola yang baik, dan menghindari konflik hukum yang dapat merugikan reputasi perusahaan.

 

Dengan demikian, kesimpulan ini mencerminkan kompleksitas dinamika antara perusahaan asuransi, nasabah, dan regulasi hukum. Klaim ex gratia, meskipun memiliki kelemahan dan ketidakpastian hukum, tetap menjadi instrumen yang dapat menjaga marwah asuransi sebagai sarana perlindungan masyarakat. Keberlanjutan dialog dan peningkatan transparansi diharapkan dapat mengoptimalkan peran klaim ex gratia sebagai bentuk komitmen perusahaan asuransi dalam melayani nasabah dan memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri ini.

Artikel ini merupakan bagian dari buku “BANGKITNYA ASURANSI KAMI” dengan keynote speaker Profesor Muhammad Eddi Purnawan, Anggota Badan Supervisi OJK. Februari 2024. ISBN, Penerbit IPB Press.

Harga buku ini adalah Rp. 155.000 dan dapat dipesan melalui ligasuransi.com