DARI PREMI HINGGA KLAIM: ANALISIS MENDALAM PASAR ASURANSI SATELIT
Pasar asuransi satelit menjadi semakin menarik dan kompleks seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi antariksa. Tulisan ini akan menjelajahi dinamika unik dari sektor asuransi yang khusus menangani risiko-risiko terkait peluncuran dan operasional satelit. Berbeda dengan asuransi kendaraan bermotor yang dikenal dengan hukum bilangan besar, pasar asuransi satelit menunjukkan eksklusivitasnya dengan jumlah penanggung yang terbatas di seluruh dunia, serta jumlah satelit yang diluncurkan yang tidak begitu melimpah.
Hanya sekitar dua puluhan perusahaan asuransi global yang bersedia menanggung jenis risiko ini, dan kapitalisasi pasar mencapai miliaran dolar setiap tahunnya. Tantangan besar bagi perusahaan asuransi adalah meningkatkan partisipasi pemain di pasar ini, sementara pemain yang sudah ada harus memperluas kapasitas dan keterlibatan mereka untuk mengatasi risiko peluncuran satelit yang semakin kompleks.
Tak hanya itu, tulisan ini juga akan membahas pertumbuhan jumlah satelit di orbit, mencapai ratusan setiap tahun, seiring dengan tingginya kebutuhan akan konektivitas global. Statistik menunjukkan tren pertumbuhan premi asuransi satelit dari tahun ke tahun, namun juga meningkatnya risiko kerugian, terutama akibat kegagalan orbit. Dengan ongkos pembuatan satelit yang dapat mencapai USD 250 juta dan tingkat kegagalan peluncuran satu dari sepuluh kali, penting bagi industri ini untuk menjalani analisis mendalam dan hati-hati seiring dengan pertumbuhan dan evolusi teknologi. Juga, kita akan mengeksplorasi jaminan asuransi satelit yang melibatkan berbagai risiko, mulai dari kegagalan peluncuran hingga kerusakan atau hilangnya satelit di orbit.
Khusus untuk Indonesia, tantangan asuransi satelit semakin nyata dengan pertumbuhan pesat industri telekomunikasi, yang melibatkan sejumlah besar operator yang menggunakan satelit. Namun, terbatasnya perusahaan asuransi lokal yang bersedia menanggung risiko ini menciptakan peluang dan kebutuhan untuk lebih banyak pelaku lokal terlibat di pasar ini.
Artikel ini juga membahas bagaimana perkembangan industri telekomunikasi di Indonesia dapat mempengaruhi dinamika pasar asuransi satelit, dan bagaimana pelatihan underwriting lokal dapat memberikan keuntungan dalam mengelola risiko ini tanpa tergantung sepenuhnya pada reasuradur luar negeri. Diharapkan, tulisan ini dapat memberikan wawasan mendalam tentang perjalanan dan tantangan pasar asuransi satelit, serta memberikan pandangan terhadap potensi masa depannya di tengah transformasi teknologi dan industri di era global ini.
Pada hari Senin lalu (6/8), Rusia meluncurkan roket Proton membawa satelit Telkom 3 dan The Express MD2 dari pusat antariksa Baikonur Cosmodrome Kazakhstan. Namun, peluncuran tersebut mengalami kegagalan karena tidak berfungsinya mesin.
Satelit Telkom 3, yang dibangun oleh perusahaan roket Rusia Reshetnev dengan peralatan telekomunikasi dari Thales Alenia Space, dimaksudkan untuk fasilitas komunikasi dan kepentingan pemerintah, termasuk pertahanan dan keamanan. Sinergi ini mencakup pembuatan satelit, jasa peluncuran, penyediaan perangkat pengendali satelit, pelatihan, dan magang, dengan nilai proyek mencapai US$ 200 juta.
Pernyataan resmi mengenai penyebab kegagalan peluncuran satelit menyebutkan bahwa hanya tujuh detik setelah dinyalakan, dari rencana 18 menit 5 detik, mesin ketiga roket pengorbit Briz-M di bagian atas roket pendorong Proton-M mati. Hal ini menghentikan perjalanan satelit Telkom 3 dan Express MD-2 jauh dari orbit sesungguhnya. Pembakaran pada mesin roket Proton-M tingkat 1 dan 2 berlangsung sukses. Persoalan muncul saat pembakaran roket tingkat 3.
Satelit Telkom 3 tersebut diasuransikan oleh PT. Asuransi Jasa Indonesia (Persero) oleh PT. Telekomunikasi Indonesia hingga senilai US$ 185,3 juta dengan premi dibayar sekitar US$ 29 juta.
Sejarah Asuransi Satelit.
Sejarah peluncuran satelit dimulai sejak tahun 1950. Pada waktu itu, pengelolaan dan kepemilikan satelit umumnya dipegang oleh pemerintah suatu negara seperti National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan European Space Agency (ESA). Meskipun asuransi satelit telah tersedia sejak tahun 1964, namun hanya sedikit yang dibeli oleh operator satelit hingga pertengahan tahun 1980-an. Hal ini dikarenakan badan antariksa nasional di berbagai negara umumnya menanggung risiko peluncuran sendiri tanpa mekanisme asuransi.
Pada awal tahun 1980, seiring dengan berkembangnya industri satelit komersial, muncul kebutuhan akan asuransi satelit terkait dengan keengganan banyak perusahaan swasta operator satelit menanggung sendiri nilai satelit dengan frekuensi kerugian yang relatif tinggi. Kapasitas pasar asuransi yang menanggung risiko satelit meningkat dari hanya US$ 300 juta pada tahun 1990 menjadi US$ 1.2 miliar pada tahun 2000, jauh di atas kebutuhan asuransi satelit yang berkisar antara US$ 175 hingga US$ 250 juta. Secara bertahap, satelit membutuhkan pertanggungan hingga US$ 400 juta.
Asuransi satelit umumnya ditempatkan melalui broker/pialang asuransi dan lazimnya melibatkan sejumlah panel penanggung pada setiap program pertanggungannya.
Sejalan dengan perkembangan pasar asuransi satelit, kompetisi dan kelimpahan penanggung mengakibatkan penurunan premi, sehingga sejumlah program satelit yang diprakarsai pemerintah membeli asuransi.
Pasar Asuransi Satelit: Potensi dan Tantangan
Berdasarkan karakteristiknya, pasar asuransi satelit memiliki perbedaan yang mencolok dibandingkan dengan jenis asuransi lain, seperti asuransi kendaraan bermotor yang dikenal dengan hukum bilangan besar. Dengan jumlah penanggung asuransi yang bisa dihitung dengan jari di seluruh dunia dan jumlah satelit yang diluncurkan yang terbatas, pasar asuransi satelit ini mirip dengan satelit yang eksklusif di kancah industri asuransi dunia.
Hanya terdapat dua puluhan perusahaan asuransi di dunia yang bersedia menanggung jenis asuransi ini, dengan kapitalisasi pasar mencapai miliaran dolar setiap tahun. Terdapat kebutuhan yang nyata untuk menambah jumlah pemain asuransi pada produk ini, mengingat pemain pasar yang sudah ada tidak cukup memiliki kapasitas dan keengganan untuk mengambil bagian terbesar dari risiko peluncuran satelit.
Saat ini, ratusan satelit berada di orbit di ruang angkasa. Sejak tahun 2008, diperkirakan sekitar 150 satelit diluncurkan setiap tahun, meningkat dari 50 satelit setiap tahun sebelumnya.
Premi asuransi satelit di seluruh dunia telah tumbuh dari sekitar US$ 150 juta pada tahun 1986 menjadi US$ 1.028 juta pada tahun 1997. Kerugian asuransi satelit dalam periode tersebut mencapai kurang dari US$ 100 juta per tahun sebelum tahun 1989, meningkat menjadi rata-rata US$ 600 juta per tahun pada periode sesudahnya. Kegagalan orbit menyumbang 69% klaim pada tahun 1998, dengan hanya 31% klaim berasal dari kegagalan peluncuran.
Meskipun catatan menunjukkan bahwa kegagalan peluncuran tetap menjadi penyebab utama kerugian dalam sejarah asuransi satelit, industri ini mengalami masa keuntungan selama 20 tahun hingga 1998 dan kemudian mengalami penurunan margin laba pada tahun-tahun berikutnya.
Ongkos pembuatan satelit bervariasi, tetapi diperkirakan dapat mencapai USD 250 juta. Sayangnya, satu dari sepuluh peluncuran mengalami kegagalan, oleh karena itu peluncuran satelit harus dihitung secara mendetail dan hati-hati.
Dikarenakan nilai asuransinya yang besar, pasar asuransi satelit biasanya ditempatkan pada beberapa penanggung sesuai dengan kapasitas masing-masing, sehingga jika terjadi klaim, masing-masing akan membayar sesuai dengan porsi mereka. Sebagai contoh, pada tahun 2010, total premi asuransi satelit mencapai US$ 825 juta dengan klaim sekitar US Dolar 400 juta.
Jaminan asuransi satelit mencakup hilang, rusak, atau gagalnya peluncuran satelit, termasuk dalam uji coba orbit dan selama tahun pertama di dalam orbit. Jaminan ini juga melibatkan tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga yang dapat menyebabkan kerusakan barang, luka-luka, atau kehilangan jiwa.
Di Indonesia, tidak banyak perusahaan asuransi yang berminat menanggung asuransi satelit, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk pengalaman dan keahlian dalam underwriting serta sulitnya memperoleh dukungan reasuransi. Hanya perusahaan seperti Jasindo dan Tugu Pratama yang mampu berperan dalam asuransi jenis ini, dengan Jasindo mencatatkan enam kali kerugian asuransi satelit.
Namun, dengan pesatnya perkembangan industri telekomunikasi di Indonesia, baik untuk keperluan jaringan TV, internet, maupun telepon selular, kita dapat melihat peningkatan operator telekomunikasi yang mengoperasikan satelit. Dengan demikian, tumbuhlah kebutuhan akan asuransi satelit. Saat ini, terdapat 11 operator telekomunikasi di Indonesia dengan jumlah pelanggan mencapai 274 juta, menunjukkan tingkat kompetisi yang sangat ketat.
Seiring dengan perkembangan industri telekomunikasi di Indonesia, diharapkan dapat mempengaruhi keseimbangan antara pasokan dan permintaan, sehingga dapat mendorong penurunan premi asuransi satelit. Terlebih lagi, pelatihan underwriting bagi praktisi asuransi di Indonesia yang berfokus pada risiko khusus ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada keahlian reasuradur luar negeri, sehingga nasabah dapat mendapatkan tingkat premi yang lebih wajar.
Secara keseluruhan, pasar asuransi satelit menghadapi tantangan dan peluang yang signifikan seiring dengan pesatnya evolusi teknologi antariksa dan pertumbuhan industri telekomunikasi global. Terbatasnya jumlah perusahaan asuransi yang bersedia menanggung risiko ini menandai eksklusivitas dan kompleksitas pasar. Dengan jumlah satelit yang terus meningkat di orbit, bersamaan dengan risiko kegagalan peluncuran dan operasional, penting bagi industri ini untuk terus beradaptasi dengan perubahan teknologi yang cepat. Tantangan di Indonesia, dengan industri telekomunikasi yang berkembang pesat, menciptakan panggung bagi pelaku lokal untuk lebih aktif terlibat dalam asuransi satelit.
Sementara premi asuransi satelit terus tumbuh, klaim akibat kegagalan orbit menunjukkan risiko yang terus meningkat. Dalam konteks ini, perusahaan asuransi perlu menjalani proses underwriting yang cermat dan analisis risiko mendalam. Pelatihan lokal untuk praktisi asuransi di Indonesia menjadi kunci untuk membangun kapasitas dalam menghadapi risiko khusus ini. Dengan demikian, kesimpulannya, pasar asuransi satelit perlu mengikuti perkembangan teknologi dan industri, melibatkan lebih banyak pelaku lokal, dan menjalani inovasi dalam manajemen risiko untuk memastikan keseimbangan yang optimal antara pertumbuhan dan keamanan di masa depan.
Artikel ini merupakan bagian dari buku “BANGKITNYA ASURANSI KAMI” dengan keynote speaker Profesor Muhammad Eddi Purnawan, Anggota Badan Supervisi OJK. Februari 2024. ISBN, Penerbit IPB Press.
Harga buku ini adalah Rp. 155.000 dan dapat dipesan melalui ligasuransi.com