Tertekan Regulasi, Ini Alasan Mengapa Environmental Liability Insurance Diwajibkan

Silakan konsultasikan kebutuhan asuransi anda bersama kami
Di tengah meningkatnya tekanan terhadap perusahaan untuk menerapkan praktik bisnis yang berkelanjutan, regulasi lingkungan di Indonesia semakin diperketat. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus mendorong penegakan hukum lingkungan, termasuk dengan menerapkan sanksi tegas terhadap pelaku usaha yang mencemari lingkungan.
Salah satu bentuk kepatuhan yang kini mulai dianggap sebagai kebutuhan strategis, bukan lagi sekadar pilihan, adalah Environmental Liability Insurance (asuransi tanggung jawab lingkungan). Asuransi ini memberikan perlindungan terhadap risiko finansial akibat pencemaran atau kerusakan lingkungan, termasuk biaya remediasi, gugatan hukum dari pihak ketiga, dan kewajiban hukum lainnya.
Secara regulatif, kewajiban asuransi lingkungan hidup telah diatur dalam Undang‑Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya dalam Pasal 42–43, serta diperkuat oleh Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 dan Permen KLHK No. 6 Tahun 2021. Regulasi ini mewajibkan pelaku usaha tertentu, terutama di sektor pengelolaan limbah B3, untuk memiliki asuransi lingkungan sebagai syarat perizinan, dengan nilai pertanggungan minimum sebesar Rp 5 miliar.
Memasuki tahun 2025, belum terdapat perluasan eksplisit kewajiban asuransi lingkungan ke sektor industri lain. Namun, arah kebijakan semakin jelas. Dua regulasi terbaru, yakni PP No. 26 Tahun 2025 tentang Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No. 27 Tahun 2025 tentang Perlindungan Ekosistem Mangrove, mempertegas pentingnya instrumen ekonomi lingkungan dalam mendukung keberlanjutan. Meskipun tidak secara langsung mewajibkan asuransi untuk seluruh sektor, dua PP ini memperkuat landasan hukum dan dorongan kebijakan agar perusahaan lebih bertanggung jawab terhadap dampak lingkungannya.
Dengan maraknya gugatan warga, tekanan dari pemegang saham, dan ketatnya kriteria ESG, perusahaan yang lalai mengantisipasi risiko lingkungan tidak hanya menghadapi kerugian material, tapi juga risiko reputasi yang besar. Di sinilah asuransi lingkungan hidup hadir sebagai alat mitigasi yang penting—dan kian diarahkan menjadi kewajiban dalam praktik bisnis berkelanjutan di Ibu Pertiwi.
Environmental Liability Insurance (ELI), atau dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai asuransi tanggung jawab lingkungan, adalah bentuk perlindungan asuransi yang dirancang untuk menanggung kerugian finansial akibat pencemaran atau kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan operasional suatu perusahaan.
Asuransi ini menjadi sangat relevan di era sekarang, ketika perusahaan tak hanya dinilai dari kinerja finansialnya, tetapi juga dari jejak lingkungan (environmental footprint) dan kemampuannya bertanggung jawab terhadap potensi dampak yang ditimbulkan. Adapun luas penjaminan produk Asuransi ini meliputi:
Perbedaan dengan Polis Asuransi Biasa
Kebanyakan polis asuransi properti atau bisnis mengecualikan risiko lingkungan dari perlindungan mereka. Itu sebabnya ELI hadir sebagai asuransi khusus yang memberikan jaminan terhadap tanggung jawab hukum yang seringkali berbiaya sangat tinggi dan berujung pada penutupan bisnis jika tidak tertanggulangi.
Risiko lingkungan yang dapat ditanggung oleh Environmental Liability Insurance sangat beragam dan sering kali muncul dari kegiatan operasional harian perusahaan. Misalnya, tumpahan bahan kimia ke sungai yang mencemari sumber air masyarakat, kebocoran tangki bawah tanah yang menyebabkan pencemaran tanah, hingga insiden kebocoran limbah beracun yang merusak ekosistem di sekitar kawasan industri. Selain itu, emisi udara berlebih yang berdampak pada kesehatan warga sekitar juga menjadi salah satu risiko yang ditanggung, begitu pula kasus limbah pabrik yang mencemari lahan pertanian milik warga dan merugikan secara ekonomi. Semua kejadian ini tidak hanya membawa konsekuensi lingkungan, tetapi juga potensi gugatan hukum yang besar terhadap pelaku usaha.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah semakin memperketat regulasi yang mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Landasan utama regulasi ini adalah Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengatur kewajiban pelaku usaha untuk bertanggung jawab atas dampak lingkungan dari aktivitasnya.
Selain itu, Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 6 Tahun 2021 mengharuskan perusahaan yang bergerak di sektor pengelolaan limbah B3 untuk memiliki bukti asuransi lingkungan sebagai syarat perizinan. Asuransi ini harus mencakup minimal pertanggungan sebesar Rp 5 miliar untuk memastikan perusahaan mampu membiayai pemulihan lingkungan jika terjadi kerusakan atau pencemaran.
Masuk ke tahun 2025, meski belum ada perluasan kewajiban asuransi lingkungan ke sektor lain, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2025 dan No. 27 Tahun 2025 yang memperkuat kerangka hukum untuk pengelolaan lingkungan, khususnya terkait perencanaan perlindungan lingkungan dan pelestarian ekosistem mangrove. Regulasi-regulasi ini menegaskan pentingnya instrumen mitigasi risiko, termasuk asuransi, dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Penegakan hukum yang makin tegas juga disertai dengan meningkatnya sanksi administratif dan pidana terhadap pelanggaran lingkungan. Banyak kasus pencemaran lingkungan yang berujung pada gugatan dan tuntutan kompensasi, menambah tekanan bagi pelaku usaha untuk menerapkan proteksi keuangan melalui asuransi.
Seiring dengan semakin ketatnya regulasi lingkungan dan meningkatnya kesadaran publik, Environmental Liability Insurance (ELI) kini bukan lagi sekadar opsi tambahan, melainkan kebutuhan yang wajib dipertimbangkan oleh setiap perusahaan yang beroperasi di sektor dengan potensi risiko lingkungan.
Kerusakan lingkungan sering kali mengakibatkan biaya remediasi dan kompensasi yang sangat besar, bisa mencapai miliaran rupiah. Tanpa perlindungan asuransi, perusahaan harus menanggung semua biaya ini sendiri, yang dapat mengganggu kelangsungan operasional dan bahkan menyebabkan kebangkrutan.
Investor, pemberi pinjaman, dan mitra bisnis kini semakin mengutamakan aspek keberlanjutan dan tanggung jawab sosial perusahaan. Banyak di antara mereka mensyaratkan bukti perlindungan risiko lingkungan sebagai bagian dari penilaian risiko dalam pengambilan keputusan bisnis.
Memiliki asuransi lingkungan menunjukkan bahwa perusahaan serius dalam memenuhi kewajiban hukum dan menjalankan due diligence terkait dampak lingkungan. Hal ini juga seringkali menjadi syarat dalam proses tender, audit lingkungan, dan pengajuan pembiayaan proyek.
Masyarakat dan kelompok advokasi lingkungan kini lebih aktif dalam menuntut pertanggungjawaban perusahaan atas dampak lingkungan yang ditimbulkan. Asuransi lingkungan membantu perusahaan menghadapi risiko gugatan ini dengan dukungan finansial dan bantuan hukum.
Dengan berbagai alasan tersebut, ELI menjadi instrumen krusial dalam manajemen risiko modern, memastikan perusahaan tidak hanya patuh secara hukum, tapi juga mampu bertahan dan berkembang dalam era bisnis yang semakin mengedepankan keberlanjutan.
Meskipun kewajiban memiliki Environmental Liability Insurance (ELI) secara eksplisit saat ini masih terbatas pada sektor tertentu seperti pengelolaan limbah B3, tren regulasi dan risiko lingkungan yang meningkat membuat cakupannya menjadi semakin luas secara praktis. Banyak jenis usaha kini “secara de facto” perlu memiliki proteksi ini untuk memitigasi potensi tuntutan dan kerugian lingkungan.
Menurut Permen KLHK No. 6 Tahun 2021, pelaku usaha yang mengelola limbah bahan berbahaya dan beracun wajib memiliki asuransi lingkungan dengan nilai minimum pertanggungan. Ini adalah sektor yang paling jelas diatur dan diawasi.
Dengan potensi pencemaran tinggi dari bahan baku, sisa produksi, maupun kebocoran, sektor ini tergolong sangat rentan terhadap risiko lingkungan dan kerap menjadi sorotan regulator dan masyarakat.
Aktivitas pertambangan, pembangkit listrik, serta industri energi lainnya memiliki potensi merusak tanah, air, dan udara dalam skala besar. Di sektor ini, klaim lingkungan bisa berdampak pada izin operasi.
Industri yang menghasilkan limbah cair, padat, maupun emisi gas dalam proses produksinya sebaiknya memiliki ELI, apalagi jika berlokasi dekat permukiman atau area pertanian.
Konstruksi jalan tol, pelabuhan, kawasan industri, maupun proyek reklamasi bisa menimbulkan dampak ekologis besar jika tidak diawasi dengan baik. Banyak lembaga pembiayaan kini mensyaratkan proteksi risiko lingkungan sebagai bagian dari uji kelayakan.
Meski bukan produsen langsung, pengelola gudang penyimpanan bahan kimia, pupuk, pelarut, atau oli industri tetap memikul tanggung jawab atas kebocoran dan tumpahan yang terjadi di area mereka.
Di tengah peningkatan tekanan regulasi dan kesadaran lingkungan yang terus tumbuh, perusahaan yang beroperasi di Tanah Air tidak bisa lagi mengabaikan potensi risiko lingkungan dalam kegiatan usahanya. Tumpahan limbah, pencemaran udara, dan kerusakan ekosistem kini bukan hanya berdampak pada lingkungan fisik, tetapi juga berdampak hukum, sosial, bahkan reputasi yang sangat mahal untuk diperbaiki.
Inilah mengapa Environmental Liability Insurance kini menjadi bagian penting dari strategi mitigasi risiko yang profesional dan berkelanjutan. Polis ini bukan hanya untuk mematuhi regulasi, tapi juga untuk membuktikan bahwa perusahaan Anda siap bertanggung jawab secara penuh terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.
Sebagai broker asuransi independen dan terpercaya di Indonesia, L&G Insurance Broker siap membantu Anda memahami, merancang, dan menempatkan solusi asuransi lingkungan yang tepat, sesuai kebutuhan industri Anda dan peraturan yang berlaku.
Jangan tunggu sampai krisis terjadi. Lindungi bisnis Anda sekarang.
📞 Hubungi tim kami di 0811-8507-773
untuk konsultasi gratis, audit risiko, dan solusi penempatan asuransi lingkungan secara cepat dan transparan.
Source:
Connect With Us