Ada Gap Terlalu Lebar
Dilansir dari Koran Bisnis Indonesia tanggal 15 Februari 2019
“Mereka baru sadar setelah gempa, agunan yang ada di bank tanpa asuransi [proteksi atas risiko gempa].”
Cerita itu datang dari Dadang Sukresna, Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), di sela-sela seminar bertajuk “Peta Risiko Gempa Bumi dan Tsunami di Indonesia: Bagaimana Pengelolaan Gedung & Potensi Asuransi”, Kamis (14/2).
Dadang berkisah, setelah gempa bumi melanda Lombok, Nusa Tenggara Barat pada Agustus 2018, sejumlah pihak termasuk kalangan perbankan datang kepadanya dan melontarkan sejumlah pertanyaan.
Mayoritas asset fisik yang luluh lantak akibat gempa bermagnitudo hingga 7 SR itu ternyata tidak dilindungi asuransi gempa.
Tak heran jika ada celah yang sangat besar antara nilai kerugian pada objek yang terdampak bencana (eksposur) dengan besaran pertanggungan asuransi yang ada pada peristiwa tersebut. Gap itu tetap menganga kendati sudah ada sejumlah besar dana tambahan dari pemerintah dan pihak luar untuk pembiayaan pascabencana.
Data PT Reasuransi Maipark Indonesia- perusahaan reasuransi yang sahamnya dimiliki oleh seluruh perusahaan asuransi kerugian dan reasuransi serta berfokus untuk menangani risiko khusus gempa bumi- mencatat per Januari 2019, total nilai kerugian akibat bencana di NTB dan sekitarnya mencapai Rp 12 triliun.
Sementara itu, estimasi klaim asuransi atas peristiwa itu hanya mencapai Rp1,58 triliun atau 0,1% dari total nilai eksposur.
CIRI KHAS
Tidak hanya pada Gempa Lombok, gap pembiayaan ini pun menjadi ciri khas dampak bencana yang tejadi di Indonesia. Maipark mencatat nilai kerugian untuk tiga bencana gempa dan tsunami besat yang terjadi pada tahun lalu, yakni di Lombok, Palu dan Selat Sunda, mencapai Rp34 triliun.
Sayangnya, klaim pertanggungan asuransi yang dibayarkan hanya mencapai Rp2,8 triliun. Dengan alokasi dana sekitar Rp18,39 triliun yang merupakan pembiayaan pascabencana dari dalam negeri sekitar Rp6 triliun dan dari luar negeri Rp12,39 triliun, masih ada gap sekitar Rp12,8 triliun.
Bahkan, Maipark juga mencatat dari sekitar 10 bencana besar yang terjadi di Indonesia, yakni sejak Gempa dan Tsunami Aceh pada 2014, total gap pembiayaan mencapai Rp134 triliun.
Ahmad Fauzie Darwis, Presiden Direktur Maipark, mengatakan gap tersebut mencerminkan adanya kebutuhan akan sumber pendanaan lain, terutama untuk upaya pascabencana. Celah ini dinilai seharusnya bisa dioptimalkan dengan proteksi asuransi kerugian.
Apalagi, jelasnya, sudah sejak lama produk ini sudah disediakan oleh pelaku asuransi. “Ada asuransi bencana alam juga instrument transfer risiko lainnya.”
Dadang Sukresna mengatakan, upaya untuk mengikis gap sudah dicanangkan dengan konsep skema bencana alam nasional. Hal itu sudah mulai diwujudkan pemerintah melalui program asuransi barang milik negara yang diinisiasi Kementrian Keuangan dan mulai berlaku pada tahun ini.
Pihaknya berharap langkah serupa bisa dijalankan oleh kementrian dan lembaga lainnya untuk memproteksi hal-hal terkait di sektornya. Untuk masyarakat umum, sambung dia, skema disaster risk financing and insuring atau DRFI yang sudah mulai disuarakan pemerintah bisa menjadi solusi.
“Mungkin ini masih butuh waktu karena penyusunannya bakal melibatkan pemangku kepentingan internasional.”
Bagi swasta, kesadaran para pebisnis tentang pentingnya mitigasi risiko memang menjadi pilihan tunggal. Dadang berharap pada pelaku perbankan mulai mewajibkan proteksi khusus ini.
Hal yang sama diungkapkan Erixon Hutapea, Direktur Teknik PT Sompo Insurance Indonesia. “Kalau tidak, baik debitur dan banknya bisa kena masalah setelah gempa.”
(Oktaviano DB Hana – Bisnis Indonesia)
—
Melihat dari kejadian gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat; kita diingatkan bahwa resiko bias saja terjadi dimana dan kapan saja. Dan kerugian dari resiko tersebut bias sangatlah besar. Ketika kita bicara asset, jika diingat bagaimana kita bisa memperoleh asset tersebut akhirnya menjadi milik kita, tentunya diperlukan usaha dan biaya yang sangat besar. Dan tentunya dengan memiliki asset kita menjadi merasa aman jika diwaktu mendatang kita memerlukan. Tapi semua mimpi indah itu bias seketika berubah menjadi mimpi buruk, ketika bencana melanda. Contohnya gempa, tanpa pandang bulu gempa akan menghajar apapun yang ada diatas muka bumi ini, mengakibatkan kerugian yang nilainya sangat besar. Aset ratusan bahkan milyaran juta rupiah mendadak menjadi tidak bernilai. Hanya tangis dan penyesalan yang ada pada kita.
Tapi tidak sesuram itu ceritanya jika sejak dari awal kita sudah sadar bahwa di Indonesia ini masih rawan akan terjadinya bencana alam gempa maupun Tsunami sehingga perlu adanya asuransi untuk asset kita. Sehingga semua asset-aset kita akan selalu terlindungi dan kita tidak perlu menanggung kerugian material yang sangat besar.
Kami, L&G Risk sebagai perusahaan broker asuransi di Indonesia selalu siap dalam membantu proses klaim asuransi dari para nasabah kami dimanapun berada.
—
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi L & G Insurance Broker, Office: 021 22212345, halo@lngrisk.co.id, atau Hubungi Meli Hp / Whatsapp +62 812-8398-7016